Prof. Dr KH. Zainal Abidin, M.Ag Ketua FKUB Sulteng saat menjadi khatib Shalat Idul Adha 1445 H di Polda Sulteng, Senin, 17 Juni 2024 [foto terassulteng.com]
TERASSULTENG | PALU, -Suasana
shalat Idul Adha 1445 H di halaman Polda Sulteng bersama unsur forkopimda dan
masyarakat bertambah khitmad dengan Khutbah yang disampaikan oleh Khatib Prof. Dr.
KH. Zainal Abidin, M.Ag selaku Ketua FKUB Sulteng.
Mengangkat
tema “Reaktualisasi Pesan Moral Idul Qurban Bagi Wujudnya Masyarakat Yang
Harmonis dalam Kebhinekaan”, Prof. Zainal mengingatkan bahwa Idul Adha
(Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kesinambungan "jalan kesalehan
sosial spiritual" dari Idul Fitri.
Hadir dalam pelaksanaan Shalat Idul Adha bersama Forkopimda
Sulteng antara lain Gubernur H. Rusdy Mastura, Kapolda Sulteng Irjen Pol. Dr. Agus
Nugroho, Danrem 132/Tadulako Brigjen TNI Dody Triwinarto, Kepala Kantor Wilayah
Kementrian Agama Sulteng, Wakapolda Brigjen Pol. Soeseno Noerhandoko.
Dalam isi khutbahnya, Ketua FKUB Sulteng itu antara
lain mengungkapkan “Jika Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas
nafsu, maka Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban,” Kerendah
hatian untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan
pengorbanan Nabi Ibrahim a.s dan 4
Kapolda Sulteng Irjen Pol. Agus Nugroho mendampingi Prof. Zainal Abidin dalam pelaksanaan Shalat Idul Adha 1445 H di Polda Sulteng, Senin 17 Juni 2024 [foto terassulteng.com]
Masih ungkap Prof. Zainal, hari raya bermuara pada nilai-nilai kepedulian,
ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, pentingnya silaturahim,
dan etos berbagi yang disimbolkan dengan zakat fitrah pada idul fitri dan
daging kurban pada idul adha.
Ketua MUI Kota Palu itu juga menegaskan, Haji tidak
hanya sebagai kewajiban dan rukun kelima dalam Rukun Islam, melainkan ia
sebagai ibadah sosial. Kerinduan kepada Allah dan Nabi menjadi unsur utama
dalam menjalankan ibadah ini,
“Mereka di kumpulkan dari berbagai ras, etnik, suku
dan bangsa. Bangsawan dan rakyat jelata memakai pakaian yang sama, dan tidak
ada yang istimewa. Perbedaan warna kulit tidak ada artinya. Seorang kulit putih
dari Benua Eropa akan berdiri sejajar dengan seorang kulit hitam dari Afrika.
Mereka pada waktu dan tempat yang sama melakukan ibadah kepada Sesembahan yang
sama, yaitu Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak di sembah selain Dia”
jelasnya
Rais Syuriah PBNU itu juga menyebut,
perlunya meningkatkan keislaman kita dari level “beragama” ke level beriman.
Karena ada perbedaan antara orang “beragama” dengan orang beriman, antara lain:
Orang “beragama” adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu “Ada”. Sedangkan orang
beriman adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu “Hadir”.
‘Orang melakukan perbuatan
jahat, karena berpikir bahwa Tuhan itu ada, tapi dia tidak merasakan
kehadiran-Nya. Orang beriman merasakan kehadiran Tuhan di manapun dia berada”.
Orang “beragama” selalu merasa
paling suci dan paling benar. Sedangkan orang beriman selalu melihat semua
orang adalah setara, semua punya kelebihan dan kekurangan, jelas Prof Zainal
yang juga Guru Besar Pemikiran Islam pada Universitas Islam Negeri (UIN) Palu
Lanjut beliau juga menjlaskan,
Orang “beragama” adalah orang yang mudah melihat perbedaan, dan sensitif dengan
perbedaan. Sedangkan, orang beriman adalah orang yang mudah melihat persamaan,
mau menerima perbedaan, dan mau mendengarkan orang lain.
Orang “beragama” selalu
mementingkan simbol-simbol agama dan ritual agama semata. Sebaliknya, orang beriman
adalah orang yang menyembunyikan ibadahnya dari orang lain, dan mempraktekkan
imannya dimanapun dan kapanpun.
Orang “beragama” adalah orang
yang baik dalam urusan ibadah ritual semata, sedangkan orang beriman adalah
orang yang baik dalam semua urusan, karena menganggap semua urusan sebagai ibadah.
Tapi harus dicatat, kriteria di atas hendaknya tidak digunakan dalam menilai
orang lain, tetapi digunakan untuk menilai diri masing-masing: apakah kita
termasuk orang “beragama” atau orang beriman, kata Ketua Dewan Pakar Alkairaat.
Oleh karena itu, sikap
toleransi, saling memahami, menghormati, dan menghargai harus senantiasa
dikedepankan. Sikap ini mesti menyemangati proses interaksi dan pergaulan antar
sesama. Bahkan, ketika ruh tersebut kembali ke pangkuan Tuhan dan yang
tertinggal hanya jasad, kadar penghormatan itu tidak boleh surut. Kemuliaannya
tetap abadi dan memantulkan sinar keabadian. Inilah yang membuat Rasulullah SAW.
tetap tegak dan memberi hormat kepada jenazah Yahudi itu, beber Prof. Zainal.
Ketua FKUB Sulteng itu juga mengingatkan,
dalam pelaksanaan Pilkada 2024, dituntut memiliki spirit “berkorban”. Kesediaan
mengorbankan egoisme sectarian, serta kepentingan individu dan kelompok, demi
mewujudkan kemaslahatan bersama sebagai warga bangsa. Adalah sangat manusiawi
bila kita berbeda pilihan, karena mustahil jutaan penduduk daerah ini memiliki
pilihan yang sama. Tetapi harus diingat, perbedaan pilihan bukan alasan untuk
meruntuhkan persatuan dan persaudaraan.
“Mari kita resapi dan amalkan
pesan pengorbanan yang terkandung dalam Idul Kurban ini, Mari kita tanamkan
kearifan dalam menyikapi kebhinekaan sebagaimana yang disimbolkan dalam ritual haji.
Dan mari kita wujudkan keharmonisan dalam kebhinekaan seperti yang diteladankan
oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan masyarakat Madinah yang multikultural.”
pesannya
Akhirnya, semoga ikhtiyar kita
dalam mewujudkan keharmonisan dalam kebhinekaan, menjadikan Islam dan umatnya
di negeri ini benar-benar dapat menunjukkan perannya sebagai pembawa rahmat
bagi semesta, rahmatan lil ‘aalamin. Sehingga negeri yang berpenduduk muslim
terbesar di dunia ini dapat tetap berdiri tegak, kokoh dan bermartabat dalam
naungan keridhaan dan ampunan ilahi, Baldatun Thayyibah Wa Rabbun Ghafuur.
Amin Ya Rabbal Alamin., pungkasnya